Rabu, 20 November 2013

Sejarah gaun pengantin

Sejarah Gaun Pengantin

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg9X0h_MLwQCRoIGFJOi4dgxc5NdaVTdAEpeu0u4sXM614yTkVXCjMVa_ekR4zNRm55ygdqdA5ETy1a4jBHh2j5Sj125WfJvjW3A9XBlBqJvOsM7uu89xh4ViUeTDv57-Cvs3vTIMEXE5fI/s320/butik+gaun+pengantin+2.jpg 
Pada abad pertengahan, warna baju dan jenis bahannya digunakan sebagai penanda status sosial seseorang. Hanya kaum kerajaan dan bangsawan saja yang bisa menggunakan bahan sutera, satin, beludru, renda, dan menggunakan warna-warna “grandeur”, seperti emas, ungu dan biru. Hal ini karena pada masa itu, teknik penganyaman benang, teknik ekstraksi zat pewarna kain dan proses pewarnaan kain dilakukan secara manual dan karena bahan-bahan yang digunakan pun tergolong sulit diperoleh sehingga kain-kain indah tersebut tidak dapat diproduksi secara massal. 

Tak pelak pada masa itu, hanya gadis-gadis bangsawan yang akan merayakan pesta pernikahan mereka yang bisa mengenakan baju dan perhiasan berwarna “grandeur” tadi. Adapun gadis-gadis dari kasta sosial yang lebih rendah hanya bisa berusaha meniru bentuk baju dan penampilan para bangsawan yang menjadi trendsetter era itu. Jarang sekali mereka bisa menggunakan baju pernikahan dengan warna “grandeur” tersebut karena mahal.
http://www.firstcoastweddings.com/wordpress/wp-content/uploads/2012/01/Queen-Victoria1.jpgPutih tetap tidak menjadi warna pilihan untuk gaun pengantin sampai tahun 1840, di mana Ratu Victoria mengenakan gaun pengantin putih saat menikah dengan Pangeran Albert of Saxe-Coburg (Yulis, 2010). Statusnya sebagai keluarga kerajaan sekaligus simbol gadis bangsawan ternama, membuat gaun pengantin putih mewah berhiaskan penuh renda Honiton Lace yang dikenakan oleh Ratu Victoria itu menjadi trendsetter berikutnya. Booming-nya gaun pengantin ala Ratu Victoria yang memiliki ciri khas gaun yang membentuk ballgown, warnanya putih kadang broken white, dan menonjolkan pinggang serta pinggul sang pengantin wanita itu menyebabkan naiknya permintaan terhadap bahan-bahan gaun putih mewah. Hal ini berdampak pada para pembuat bahan dan renda gaun pengantin kewalahan memproduksinya, karena di masa itu renda putih juga masih dibuat secara manual. Belum lagi gaun putih termasuk sulit dirawat karena kotoran yang menempel akan tampak jelas di situ. Akhirnya beberapa pengantin dari kelas sosial yang lebih rendah kembali mengenakan gaun pengantin dengan warna selain putih, kecuali warna hitam (warna berduka) dan warna merah menyala (warna yang kala itu, identik dengan the brothel house).
Sejak era Victorian itulah maka tradisi mengenakan gaun pengantin berwarna putih yang menyimbolkan kesucian itu menjadi gaya yang selalu ditiru oleh para wanita. Meski kemudian tidak hanya warna putih plain saja yang dipilih, tetapi juga bisa dengan nuansa gradasi putih seperti creme, champagne, broken-white, off white and ivory. Sampai sekarang pun yang disebut-sebut sebagai era globalisasi, putih tetap lestari di kalangan para wanita sebagai pilihan utama warna baju pengantin. Putih seolah menjadi warna privilege dan memiliki cap “For Bride-Only” yang menyertainya untuk menjadi warna baju pengantin para pengantin wanita yang ingin tampil beda dan anggun di hari pernikahannya. Bahkan tidak hanya gaun pengantin modern ala Barat saja yang memakai putih sebagai “warna resmi”; di beberapa negara, baju pernikahan bernuansa adat seperti kebaya, baju kurung, kimono dan cheongsam pun turut mengadopsi warna putih. Sebuah pantun Inggris kuno berikut ini mencoba menggambarkan “nasib” yang dibawa oleh warna baju pengantin:
 
 
 
 
 
 

Sejarah Gaun Pengantin Berwarna Putih

  - Ketika memikirkan tentang pernikahan, tentu saja yang akan menjadi bintang – pusat perhatian – adalah sang pengantin wanita. Secara internasional, kebanyakan pengantin wanita akan menggunakan gaun berwarna putih.
Tapi siapa yang pernah berfikir tentang sejarah gaun pengantin berwarna putih tersebut?
Pada laman weddingvendors.com dikatakan bahwa pada abad pertengahan, gaun pengantin bermacam-macam. Warna gaun pengantin menunjukkan tingkat status sosial mereka; semakin kaya seseorang, semakin berwarna-warni gaun pengantinnya.
Putih menjadi warna gaun pengantin ertama kali setelah tahun 1840. Pernikahan ratu Victoria dan Albert sangat berpengaruh terhadap upacara pernikahan sekarang ini. Dia memakai gaun pengantin berwarna putih.
Ratu Victoria memilih warna putih karena dia ingin membuktikan bahwa dia dapat memimpin rakyatnya untuk berhemat. Putih adalah warna yang paling murah, karena tidak membutuhkan cat untuk mewarnainya.
Dengan begitu, ratu Victoria telah meluncurkan model baru pada gaun pengantin yang menjadi tren warna gaun pengantin sekarang. Warna putih pada gaun pengantin dipercaya sebagai simbol kemurnian, kesucian. Sekarang ini, sekitar 75% dari gaun pengantin yang ada berwarna putih.
Tetapi, di beberapa negara, warna putih dianggap bukan sebagai warna keberuntungan. Sebagai contoh di Cina, warna gaun pengantin harus warna lain selain warna putih karena warna putih erat hubungannya dengan kematian dan kesialan. Warna pakaian yang seutuhnya putih melambangkan ketidakbahagiaan.
Seperti yang telah diketahui, banyak kepercayaan dan sejarah mengenai gaun pengantin. Sekarang, sebagian besar pengantin memilih warna gaun pengantin berdasarkan tradisi yang ada.



 TAUKAH ANDA BAHWA DAHULU GAUN PENGANTIN ITU BUKAN PUTIH MELAINKAN HITAM


 Ternyata gaun pengantin pada awalnya berwarna hitam... Sampai pada kematian Ratu Victoria pada tahun 1907, warna tradisional untuk gaun pengantin adalah hitam, bukan putih. Hanya orang terkaya sahaja yang mampu membeli gaun putih. dan untuk diambil gambar, para pengantin itu harus menjaga pose mereka sampai 1/2 minit. Inilah gambar gaun pengantin yang diambil pada awal hingga pertengahan tahun 1890-an.