Sejarah Gaun Pengantin

Pada abad pertengahan, warna baju dan jenis bahannya digunakan sebagai
penanda status sosial seseorang. Hanya kaum kerajaan dan bangsawan saja
yang bisa menggunakan bahan sutera, satin, beludru, renda, dan
menggunakan warna-warna “grandeur”, seperti emas, ungu dan biru. Hal ini
karena pada masa itu, teknik penganyaman benang, teknik ekstraksi zat
pewarna kain dan proses pewarnaan kain dilakukan secara manual dan
karena bahan-bahan yang digunakan pun tergolong sulit diperoleh sehingga
kain-kain indah tersebut tidak dapat diproduksi secara massal.
Tak pelak pada masa itu, hanya gadis-gadis bangsawan yang akan merayakan
pesta pernikahan mereka yang bisa mengenakan baju dan perhiasan
berwarna “grandeur” tadi. Adapun gadis-gadis dari kasta sosial yang
lebih rendah hanya bisa berusaha meniru bentuk baju dan penampilan para
bangsawan yang menjadi trendsetter era itu. Jarang sekali mereka bisa
menggunakan baju pernikahan dengan warna “grandeur” tersebut karena
mahal.
Sejak era Victorian itulah maka tradisi mengenakan gaun pengantin
berwarna putih yang menyimbolkan kesucian itu menjadi gaya yang selalu
ditiru oleh para wanita. Meski kemudian tidak hanya warna putih plain
saja yang dipilih, tetapi juga bisa dengan nuansa gradasi putih seperti
creme, champagne, broken-white, off white and ivory. Sampai sekarang pun
yang disebut-sebut sebagai era globalisasi, putih tetap lestari di
kalangan para wanita sebagai pilihan utama warna baju pengantin. Putih
seolah menjadi warna privilege dan memiliki cap “For Bride-Only” yang
menyertainya untuk menjadi warna baju pengantin para pengantin wanita
yang ingin tampil beda dan anggun di hari pernikahannya. Bahkan tidak
hanya gaun pengantin modern ala Barat saja yang memakai putih sebagai
“warna resmi”; di beberapa negara, baju pernikahan bernuansa adat
seperti kebaya, baju kurung, kimono dan cheongsam pun turut mengadopsi
warna putih. Sebuah pantun Inggris kuno berikut ini mencoba
menggambarkan “nasib” yang dibawa oleh warna baju pengantin:
Sejarah Gaun Pengantin Berwarna Putih
Tapi siapa yang pernah berfikir tentang sejarah gaun pengantin berwarna putih tersebut?
Pada laman weddingvendors.com dikatakan bahwa pada abad pertengahan, gaun pengantin bermacam-macam. Warna gaun pengantin menunjukkan tingkat status sosial mereka; semakin kaya seseorang, semakin berwarna-warni gaun pengantinnya.
Putih menjadi warna gaun pengantin ertama kali setelah tahun 1840. Pernikahan ratu Victoria dan Albert sangat berpengaruh terhadap upacara pernikahan sekarang ini. Dia memakai gaun pengantin berwarna putih.
Ratu Victoria memilih warna putih karena dia ingin membuktikan bahwa dia dapat memimpin rakyatnya untuk berhemat. Putih adalah warna yang paling murah, karena tidak membutuhkan cat untuk mewarnainya.
Dengan begitu, ratu Victoria telah meluncurkan model baru pada gaun pengantin yang menjadi tren warna gaun pengantin sekarang. Warna putih pada gaun pengantin dipercaya sebagai simbol kemurnian, kesucian. Sekarang ini, sekitar 75% dari gaun pengantin yang ada berwarna putih.
Tetapi, di beberapa negara, warna putih dianggap bukan sebagai warna keberuntungan. Sebagai contoh di Cina, warna gaun pengantin harus warna lain selain warna putih karena warna putih erat hubungannya dengan kematian dan kesialan. Warna pakaian yang seutuhnya putih melambangkan ketidakbahagiaan.
Seperti yang telah diketahui, banyak kepercayaan dan sejarah mengenai gaun pengantin. Sekarang, sebagian besar pengantin memilih warna gaun pengantin berdasarkan tradisi yang ada.
TAUKAH ANDA BAHWA DAHULU GAUN PENGANTIN ITU BUKAN PUTIH MELAINKAN HITAM
Ternyata gaun pengantin pada awalnya berwarna hitam... Sampai pada kematian Ratu Victoria pada tahun 1907, warna tradisional untuk gaun pengantin adalah hitam, bukan putih. Hanya orang terkaya sahaja yang mampu membeli gaun putih. dan untuk diambil gambar, para pengantin itu harus menjaga pose mereka sampai 1/2 minit. Inilah gambar gaun pengantin yang diambil pada awal hingga pertengahan tahun 1890-an.